“Selama ini, likuiditas perumahan hanya mengandalkan anggaran pendapatan dan belanjanegara (APBN) serta sekuritisasi aset kredit pemilikan rumah (KPR). Tetapi sayangnya, sekuritisasi aset KPR untuk rumah subsidi belum bisa dilakukan, padahal hal itu bisa menambah likuiditas untuk pembiayaan rumah MBR”- Joko Suranto.
JAKARTA, www.indonesiahousing.id – Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) terus menjalin komunikasi dan berdiskusi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) mengenai strategi pembiayaan perumahan untuk mendukung pembangunan 3 juta unit rumah yang menjadi prioritas pemerintahan barumendatang di bawah Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
Baca Juga: REI Siap Jawab Tantangan Prabowo-Gibran Bangun 3 Juta Rumah
Ketua Umum DPP REI Joko Suranto mengatakan sejalan dengan pendekatan propertinomic pihaknya selalu mengambil sikap proaktif untuk berdiskusi tentang berbagai permasalahan di sektor properti terutama dengan kementerian terkait dan perbankan. Salah satunya dengan Bank Tabungan Negara (BTN) yang mendapat tugas utama membantu pemerintah untuk menyalurkan pembiayaan perumahan khususnya rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Dengan Kementerian PUPR kami intens berdiskusi, demikian pula dengan perbankan. Belum lama ini DPP REI bertemu dengan Dirut BTN Pak Nixon (Nixon LP Napitupulu) untuk membicarakan banyak hal, terlebih kami melihat pemerintah telah memberi tugas kepada BTN untuk mengawal program perumahan,” ungkap Joko Suranto saat ditanya mengenai hasil pertemuan REI dengan Direksi BTN kepada wartawan di Jakarta, Jumat (22/3).
Baca Juga: RUPST BTN Bagikan Deviden Rp700,19 Miliar hingga Rombak Komisaris – Direksi
Dalam pertemuan itu ada beberapa hal yang didiskusikan REI dan BTN antara lain berkaitan dengan fasilitas finansial yang menyentuh tiga aspek penting yakni kualitas, likuiditas dan upaya memperluas likuiditas.
Selama ini, kata Joko Suranto, likuiditas perumahan hanya mengandalkan anggaran pendapatan dan belanjanegara (APBN) serta sekuritisasi aset kredit pemilikan rumah (KPR). Tetapi sayangnya, sekuritisasi aset KPR untuk rumah subsidi belum bisa dilakukan, padahal hal itu bisa menambah likuiditas untuk pembiayaan rumah MBR.
“Ini yang akan kita dorong terutama bagaimana formula yang efektif, karena pada akhirnya produkny akan sama-sama KPR. Kendalanya itu yang rencananya akan sama-sama kita benahi,” ungkap CEO Buana Kassiti Group itu.
Baca Juga: BCA Targetkan Penyaluran KPR Tumbuh 11 Persen
Sekuritisasi aset melalui instrumen efek beragun aset (EBA) KPR merupakan cara perbankan untuk mencairkan portofolio KPR yang dimiliki sebagai sumber pendanaan, sehingga arus kas menjadi lebih terjaga dan bisa menjadi sumber dana buat aktivitas pembiayaan KPR baru. Sekuritisasi KPR bersubsidi menjadi penting, karena pendanaan KPR subsidi yang bersumber dari APBN alokasinya selama ini sangat terbatas.
Sementara terkait rencana pemerintah untuk mengurangi tenor atau jangka waktu KPR bersubsidi dari 20 tahun menjadi 10 tahun disubsidi dan 10 tahun mengikuti bunga pasar, REI menilai hal itu kemungkinan dapat diterapkan karena penghasilan nasabah akan ada peningkatan setelah 10 tahun ke depan. Langkah ini juga akan mengurangi beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah dan dapat memperluas jangkauan penerima KPR bersubsidi guna mengatasi backlog rumah yang kini mencapai 12,7 juta unit.
“REI beberapa waktu lalu sudah mengusulkan agar ada kenaikan suku bunga KPR bersubsidi tetapi dipatok tetap (fix rate) selama 20 tahun, atau tenor KPR subsidi diperpendek dan selanjutnya dikenakan suku bunga pasar dengan pertimbangan penghasilan nasabah sudah meningkat di tahun ke-10,” paparnya.
Baca Juga: Panangian Simanungkalit, Butuh 1,3 Juta Rumah Setahun untuk Atasi Backlog
Tahunini, REI mendorong agar penerima manfaat KPR FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan) dapat ditingkatkan menjadi untuk 500.000 unit. Apakah itu melalui penambahan anggaran kuota KPR FLPP atau lewat perubahan pada sebagian pola subsidi menjadi subsidi selisih bunga.
“Penambahan kuota FLPP tahun ini harus dong, karena jumlah saat ini pasti kurang. Saya sih percaya dan memegang pernyataan Menteri (PUPR) Basuki bahwa kuota FLPP 2024 akan ditambah jika realisasi sudah mendekati habis,” tegas Joko Suranto.
Baca Juga: Joko Suranto: Janji Kesejahteraan Omong Kosong Tanpa Propertinomic
Seperti diketahui, kuota FLPP untuk rumah subsidi di tahun 2024 sangat terbatas yakni hanya 166.000 unit atau lebih rendah dibandingkan kuota tahun 2023 sebanyak 220.000 unit.
Evaluasi Pinjol
Pada kesempatan itu, Joko Suranto juga menyoroti data yang mengungkapkan bahwa sekitar 30%-40% KPR subsidi calon nasabah ditolak oleh bank karena skor kredit mereka kurang baik, salah satunya disebabkan “jeratan” pinjaman online (pinjol). Banyaknya kasus masyarakat yang gagal bayar pinjol menyebabkan mereka terhambat mendapatkan KPR.
REI meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja dan bertindak tegas untuk menghentikan semakin banyak masyarakat terjerat pinjol dan tidak bisa membeli rumah melalui KPR. Menurutnya, sudah banyak sekali yang menjadi korban dari pinjaman online berbunga tinggi hingga sebesar 116% per tahun tersebut.
“Kami mendesak OJK untuk mengatur batasan bunga pinjol, setidaknya maksimal hanya dua kali suku bunga konvensional,” tegas Joko Suranto.
Baca Juga: REI DKI: Pinjol Bikin Masyarakat Makin Sulit Punya Rumah
Dia juga berharap Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa terkait hukum pinjol. Selain masalah bunga kreditnya yang “selangit”, dampak buruk pinjol pun cukup besar dan berpotensi menjadi “penyakit” masyarakat. Contohnya saat ini semakin marak kasus bunuh diri dan pembunuhan gara-gara kasus pinjol tersebut.
“Ada kasus bunuh diri dan terpaksa menjadi pembunuh yang diduga karena ditagih pinjol. OJK dan MUI harus cepat bertindak,” pungkasnya. (zh1)