FINANSIAL HEADLINE

Mengejar Cita-Cita ‘Merumahkan’ Rakyat

Pengembang nakal

“Dalam masalah rumah rakyat itu, kita tidak saja berhadapan dengan soal kekurangan rumah, akan tetapi juga dengan soal pembaruan rumah rakyat sama sekali. Masalah ini mengenai jiwa dan pandangan hidup rakyat yang harus diubah. Barulah cita-cita baru tentang rumah rakyat yang murah dan sehat itu dapat dipahamkan oleh rakyat. Pemerintah mempunyai kewajiban yang besar sekali dalam hal ini. Akan tetapi rakyat dan gerakan rakyat juga.”

Kutipan dari pidato Muhammad Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat Kedua di Jakarta, 4 Agustus 1952.

INDONESIAHOUSING.ID, Jakarta— MUHAMMAD Hatta, Wakil Presiden RI pertama, mungkin tidak menyangka bahwa urusan pemenuhan kebutuhan rumah bagi seluruh rakyat Indonesia yang ia gelorakan dahulu ternyata butuh waktu yang amat panjang. Sudah lebih dari 70 tahun ketika Hatta menyampaikan untuk pertama kali cita-citanya tentang perumahan rakyat.

“Cita-cita untuk terselenggaranya kebutuhan perumahan rakyat bukan mustahil apabila kita sungguh-sungguh mau dengan penuh kepercayaan. Semua pasti bisa,” kata Bung Hatta penuh optimisme saat membuka Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung, 25 Agustus 1950.

Dua tahun kemudian, ia mengulang lagi pandangannya tentang betapa pentingnya penyediaan rumah rakyat yang murah dan sehat–yang sebagian kutipannya menjadi pembuka tulisan ini. Kali ini, secara terang-terangan ia menegaskan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban yang besar sekali dalam urusan rumah rakyat ini.

Baca juga: Bank BTN Siap Wujudkan Mimpi Pekerja Informal

Namun puluhan tahun setelah itu, harus diakui, cita-cita itu belum dapat diwujudkan sepenuhnya. Sampai hari ini, negara belum sepenuhnya mampu menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau untuk seluruh rakyatnya. Sebagian memang sudah terealisasi, tapi sebagian lagi masih menjadi cita-cita.

Backlog atau kekurangan rumah yang disinggung Hatta nyatanya sampai sekarang masih ada. Persoalan yang menghadang cita-cita pemenuhan rumah bagi rakyat pun terus muncul, bahkan berkembang, beranak-pinak, dan semakin lama semakin kompleks. Bukan hanya di sisi penyediaan, melainkan juga di sisi pembiayaan.

Dari sisi penyediaan persoalan klasik seperti regulasi yang tumpang tindih, birokrasi yang berbelit termasuk untuk urusan perizinan, maupun tidak satu suaranya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memandang sebuah program nasional masih kerap ditemukan di lapangan.

Dalam sebuah diskusi yang digelar belum lama ini, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah menyebut dua contoh terbaru hambatan di lini penyediaan yang jika ditarik garis merah sebetulnya hampir sama dan sebangun dengan masalah-masalah lama.

Yang pertama terkait Undang-Undang Cipta Kerja yang menurut Junaidi  banyak aturan turunannya menjadi hambatan bagi pengembang.

“Sebenarnya hal itu wajar karena kita harus menyesuaikan dengan aturan baru. Namun efeknya luar biasa besar. Regulasi turunan UUCK yang diharapkan mempercepat dan mempermudah, malah menjadi penghambat,” ungkapnya.

Yang kedua menyangkut perizinan baru bernama Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Menurut Junaidi, perizinan belum bisa terlaksana akibat proses PBG yang sampai sekarang belum jelas.

Pada forum yang sama, Wakil Ketua Umum DPP REI Danny Wahid membenarkan ada kendala terkait PBG yang mesti diselesaikan agar penyediaan rumah subsidi bagi MBR di tahun ini bisa lebih lancar.

Baca juga: Sinergi BTN dan Santri Developer Kurangi Backlog Perumahan

“Mayoritas daerah belum menetapkan Perda Retribusi PBG. Kalau  pemerintah tidak memastikan Perda PBG ini selesai di bulan Januari, maka akan berdampak pada produksi rumah dan serapan insentif PPN,” tegas Danni.

“Pemerintah harus memberi masa transisi jika PBG belum bisa terlaksana. Bila pertumbuhan properti melorot, maka industri strategis ini akan turun. Jika tidak ada masa transisi, bisa terjadi kekosongan satu tahun dan backlog akan membengkak,” imbuh Junaidi.

Isu Pembiayaan

Lalu bagaimana dengan persoalan di sisi pembiayaan? Sebetulnya nyaris sama saja dengan kasus di penyediaan, yaitu persoalan lama yang belum tuntas. Pada sisi ini, setidaknya ada dua isu penting. Pertama tentang affordability (keterjangkauan) masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memenuhi kebutuhan akan rumah layak huni yang masih rendah.

umkm
Pekerja sektor informal belum tergarap dengan baik. (foto:zh)

Problem pertama ini semestinya bisa diatasi atau setidaknya diminimalisasi dengan keterlibatan perbankan/lembaga keuangan sebagai penyedia dana. Tetapi celakanya, hal yang seharusnya menjadi solusi itu seringkali malah menjadi persoalan berikutnya, yaitu persoalan accessibility (aksesibilitas).

Tidak bisa dimungkiri akses MBR ke perbankan/lembaga keuangan untuk mendapatkan kredit pemilikan rumah (KPR) masih terbatas. Khususnya lagi akses KPR bagi pekerja non-fixed income atau pekerja sektor informal yang belum juga tergarap dengan baik.

Padahal jika dibandingkan antara pasar sektor informal dan sektor formal, jumlahnya jauh lebih banyak sektor informal. Mengacu pada prediksi yang dibuat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2020, backlog kepemilikan rumah khusus MBR pada tahun itu mencapai 8,2 juta unit. Jika dirinci, MBR non-fixed income sebanyak 6,5 juta unit dan MBR fixed income hanya 1,7 unit.

Akan tetapi, angka realisasi KPR-nya berbanding terbalik. Kalau merujuk data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), realisasi KPR bersubsidi bagi pekerja informal secara nasional pada 2021 lalu hanya 9,88% atau setara 17.666 unit.Begitu pula kalau mengutip laporan dari Bank Tabungan Negara (BTN), realisasi KPR dari sektor pekerja informal pada 2021 cuma 10.968 unit atau sekitar 12% dari total penyaluran KPR subsidi bank tersebut.

Baca Juga: Penyaluran KPR FLPP Bank BTN pada Januari Naik 473%

Betul, kendalanya memang ada di aturan perbankan yang secara umum memang ‘tak terlalu ramah’ dengan para pekerja informal. Namun apakah kenyataan itu mesti didiamkan mengingat besarnya sektor informal ini peluang besar bagi sektor pembiayaan? Bukankah dari perspektif bisnis, melepas pasar yang besar dan potensial itu sebuah tindakan konyol?

“Pekerja sektor informal belum tergarap dengan baik. Padahal, tidak sedikit pekerja sektor informal yang punya kemampuan mencicil karena penghasilannya relatif besar,” ujar Danny Wahid.

Pemerintah dan perbankan bukannya tidak menyadari potensi besar ini. Kepala Divisi Subsidized Mortgage Lending PT Bank Tabungan Negara (BTN) Mochamad Yut Penta mengakui hingga 2021 lalu pun konsumen dari kalangan pekerja informal belum digarap maksimal oleh BTN. “Saya kira memang perlu strategi tepat untuk mendorong penyerapan realisasi dari sektor pekerja informal ini,” kata dia.

Dari sisi BTN sendiri, untuk menjemput peluang sektor informal tersebut, jelas Penta, pihaknya akan bekerja sama dengan sejumlah lembaga maupun asosiasi, atau kelompok dan perkumpulan profesi kaum informal yang spesifik. “Setidaknya strategi kerja sama itu kami harapkan juga akan mempermudah pengawasan,” imbuhnya.

Digitalisasi

Pekerjaan rumah untuk menerobos hambatan-hambatan lama yang disebutkan di atas tentu mesti diselesaikan cepat. Namun, jangan lupa ada tantangan lain yang mengiringi perkembangan dunia hari ini, yaitu tuntutan akan digitalisasi.

Digitalisasi bukan hanya tuntutan zaman, tapi juga tuntutan pembeli rumah di masa mendatang yang merupakan generasi melek teknologi. Artinya, penyediaan maupun sistem pembiayaan perumahan ke depan semestinya sudah mengadopsi teknologi digitalisasi mutakhir.

“Bila perlu konsumen seperti kami-kami ini enggak perlu kemana-mana waktu mau mencari rumah atau apartemen, dan enggak perlu ruwet dan waktu lama saat mengurus KPR di bank,” ucap Nadia Waluyo, 25, pekerja sebuah kantor swasta di Jakarta, saat ditanya tentang keinginan dia membeli rumah, Kamis (10/2).

Menteri BUMN Erick Thohir pun menggarisbawahi soal pentingnya digitalisasi sektor perbankan saat memberikan sambutan pada perayaan ulang tahun ke 72 BTN di Jakarta, Rabu (9/2). Menurutnya, BTN harus melanjutkan transformasi dengan memperkuat fundamental perusahaan agar lebih ekspansif, memperbaiki proses bisnis, serta mengembangkan digitalisasi.

“Hal ini karena banyak sekali rumah yang dibutuhkan anak bangsa ini, terutama oleh generasi muda Indonesia. Dengan semangat itu visi BTN harus menjadi mortgage bank terdepan di Asia Tenggara,” tegas Erick.

Sebelumnya, Direktur Utama Bank BTN Haru Koesmahargyo pun sudah menyatakan komitmen mereka dalam mengoptimalkan digitalisasi.

Baca Juga: Ngebut, BTN Akad Kredit 6.000 Unit dalam Seminggu

“Ini harus dilakukan, sebab BTN memiliki peran strategis sebagai enabler yang memberikan pembiayaan sisi supply melalui kredit konstruksi kepada developer maupun sisi demand dengan memberikan KPR kepada masyarakat,” tuturnya.

Optimisme hendaknya selalu memayungi setiap cita-cita. Begitupun di sektor perumahan, semua stakeholders perumahan, termasuk masyarakat harus tetap memanggul optimisme untuk dapat mendobrak semua halangan dan hambatan dalam urusan ‘merumahkan’ rakyat ini.

Optimisme yang disertai kerja keras barangkali akan lebih cepat membawa kita mendekat kepada cita-cita mulia Bung Hatta bahwa seluruh rakyat di Republik ini harus memiliki rumah yang sehat dan layak huni. (ZH01)

30 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *