perspektif

Mencari Solusi Hunian Berimbang

Pemerataan selalu menjadi isu seksi di negeri ini. Faktanya, ketidakmerataan masih terjadi di hampir seluruh sektor, entah itu berdasarkan perbedaan geografis maupun perbedaan kelas masyarakat. Pembangunan, contohnya, sampai hari ini belum merata antara wilayah Indonesia bagian barat dan wilayah timur, juga antara perkotaan dan perdesaan. Lalu soal akses dan penguasaan ekonomi, ada ketidakmerataan yang luar biasa antara masyarakat berpunya dan mereka yang jauh dari kategori mampu.
Di sektor perumahan pun tak beda. Ketimpangan amat terasa pada distribusi rumah yang tak sebanding dengan kebutuhan. Dengan berbagai penyebab, terutama karena daya beli dan pasokan yang terus menurun, masyarakat bawah atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) kian sulit mendapatkan rumah. Sebaliknya, kalangan menengah atas justru semakin dimudahkan dengan melimpahnya pasokan.
Dari fakta itulah sebetulnya ide untuk mengimplementasikan konsep hunian berimbang sangat ideal dan relevan untuk mengatasi gap tersebut. Di zaman Orde Baru program itu terkenal dengan konsep 1:3:6, tapi di era ini sedikit dimodifikasi menjadi 1:2:3. Artinya, pengembang yang membangun satu unit rumah mewah harus membangun dua unit rumah menengah serta tiga unit rumah sederhana.
Saking seriusnya pemerintah ingin mendorong keberimbangan itu, konsep hunian berimbang yang terbaru bahkan dimasukkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Namun, inilah uniknya Republik ini. Undang-undang seringkali hanya dianggap seperti pajangan. Begitu pula dalam kasus ini, meski sudah diundangkan, konsep hunian berimbang boleh dikatakan tidak berguna karena tak pernah bisa dilaksanakan secara efektif.
Kini, pemerintah juga sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Maksudnya untuk lebih memerinci aturan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. Sayangnya, isi beleid terbaru itu ternyata tak beda jauh dengan UU.
Banyak hal yang dinilai sebagian kalangan, terutama pengembang, masih sulit direalisasikan di lapangan. Perdebatan-perdebatan yang terjadi setelah keluarnya PP ternyata tetap sama, tak maju dari sebelumnya. Misalnya soal apakah pengembangan perumahan di segmen sederhana harus dalam satu hamparan dengan area pengembangan rumah mewah, atau juga mengenai ancaman sanksi terhadap pengembang yang tak mengindahkan konsep tersebut. Isu tersebut tak habis-habisnya diperdebatkan.
Negeri ini butuh konsensus bersama. Tanpa itu, amat mungkin penerapan konsep hunian berimbang bakal kembali mlempem seperti yang sudah-sudah. Tanpa kekuatan konsep yang mumpuni, boleh jadi niat mulia pemerintah untuk menyeimbangkan distribusi rumah bagi semua kelas masyarakat itu bakal terus dimentahkan oleh perlawanan ego dari pengembang.
Karena itu, akan jauh lebih baik bila semua pihak mau berkontemplasi mencari jalan keluar terbaik. Bila perlu rela mundur sejenak ke belakang, redamkan ego, untuk mencari pola hunian berimbang yang betul-betul ideal, yang mungkin akan berbeda untuk setiap daerah. Dari situ kita akan tahu di mana titik salahnya, apakah pada sistem, regulasi, atau pelaksanaannya.
Tanpa kerelaan itu, jangan heran bila konsep hunian berimbang hanya akan menjadi tema perdebatan yang tak kunjung selesai. Tanpa realisasi. Tanpa hasil nyata. (*apt)

31 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *