Hunian vertikal di kawasan aglomerasi diyakini mampu menjadi jalan keluar untuk mengatasi minimnya ketersediaan lahan sekaligus meningkatkan rasio ruang terbuka hijau di perkotaan.
TANGERANG, www.indonesiahousing.id – SEJAK Rancangan Undang-undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) bergulir hingga ditetapkan menjadi undang-undang pada akhir Maret 2024 lalu melalui pengambilan keputusan tingkat II Rapat Paripurna DPR RI, diksi kawasan Aglomerasi begitu banyak diperbincangkan. Pengembangan kawasan aglomerasi Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, dan Cianjur (Jabodetabekjur) akan berjalan seiring dengan dilepaskannya status Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Jakarta nantinya akan menyandang status atau sebutan baru yaitu Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Setiap perubahan pasti diikuti oleh tantangan. Tantangan terbesar menyiapkan Jakarta sebagai kota global sekaligus ‘pemimpin’ kawasan aglomerasi ialah memastikan kerja sama antarwilayah di kawasan Jabodetabekjur tersebut dalam menyelesaikan isu-isu lintas provinsi serta melakukan pembagian peran dan fungsi. Artinya, perlu penyelarasan pandangan bahwa Kota Jakarta dan kota penyangga mesti saling terkait. Jakarta tidak dapat menyelesaikan isu kota tanpa didukung kota penyangga. Begitupun sebaliknya, kemajuan pembangunan kota penyangga merupakan multiplier effect dari kemajuan pembangunan kota Jakarta.
Baca Juga: Jakarta Jadi Kota Global, Properti Barat Jakarta Miliki Value of Life
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah terkait dengan properti, khususnya hunian. Pengembangan kawasan aglomerasi diprediksi akan berefek pada banyak hal, seperti harga jual dan sewa perumahan yang akan lebih mahal, kemacetan makin meningkat, kualitas udara lebih buruk, serta keterbatasan desain rumah. Kondisi yang juga dipicu oleh kian padatnya kawasan permukiman itu memerlukan solusi yang tepat dan cepat sehingga pembangunan perkotaan bisa lebih ramah terhadap penyediaan hunian yang layak dan nyaman.
Populasi di kawasan aglomerasi dipastikan bakal terus mengalami pertumbuhan pesat. Kondisi tersebut mau tidak mau akan menyebabkan meningkatnya permintaan akan tempat tinggal, sementara, di sisi lain, lahan yang tersedia semakin terbatas. Keterbatasan lahan di perkotaan akan membuat harga tanah dan rumah tapak menjadi sangat mahal, sehingga sulit dijangkau oleh banyak orang, terutama generasi Milenial dan Gen Z.
Pada titik inilah hunian vertikal bisa menjadi solusi, khususnya untuk mengatasi kebutuhan tempat tinggal di daerah dengan kepadatan tinggi. Hunian vertikal di kawasan aglomerasi diyakini mampu menjadi jalan keluar untuk mengatasi minimnya ketersediaan lahan sekaligus meningkatkan rasio ruang terbuka hijau di perkotaan.
Model hunian bertingkat seperti ini juga menawarkan alternatif yang lebih terjangkau karena menggunakan ruang yang lebih efisien dengan memaksimalkan ketinggian bangunan.
Baca Juga: Dear Gen Z, Ada Tawaran Hunian ala Korea di Areum Parc Bogor nih!
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof Achir Chaniago, mengungkapkan semakin padatnya kawasan permukiman dan makin memburuknya kualitas udara memerlukan solusi yang tepat yang cepat guna membangun perkotaan agar menjadi lebih layak dan nyaman untuk dihuni.
“Ke depan, pemerintah diharapkan mampu mewujudkan hunian vertikal guna membentuk masyarakat madani yang sehat secara sosial, kultural, lingkungan, politik, ekonomi dan budaya,” ucapnya.
Hunian vertikal sejatinya memang sudah menjadi keharusan terutama di perkotaan yang padat penduduk. Pengamat Perkotaan Yayat Supriatna mengatakan penduduk di kawasan Jabodetabek pada 2025 diperkirakan akan mencapai 34 juta. “Jabodetabek menjadi kawasan kritis kebutuhan rumahnya dengan harga tanah yang semakin mahal dan biaya transportasi yang tinggi,” ujar Yayat.
Baca Juga: Berada di CBD Area Alam Sutera, Elevee Condominium Miliki Potensi Menjanjikan
Pendapat Kang Yayat, begitu ia akrab disapa, mengonfirmasi bahwa kebutuhan akan hunian vertikal di perkotaan, terutama di kawasan aglomerasi Jabodetabekjur ialah sebuah keniscayaan. Kehadiran hunian vertikal di kawasan padat penduduk memiliki banyak keuntungan ataupun manfaat, antara lain dapat mengatasi keterbatasan lahan, meningkatkan efisiensi kota, menciptakan ruang terbuka hijau yang lebih luas, mengatasi kekumuhan, menanggulangi urban sprawl serta memberikan kesepatan bagai masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan hunian layak dengan harga yang terjangkau.
Menurut Yayat, konsep pengembangunan kota harus memaksimalkan penggunaan lahan beragam dan terintegrasi dengan mempromosikan gaya hidup sehat. Dan secara ideal, pengembangan proyek skala kota ini dikembangkan sebagai kota yang compact yang menggunakan lahan campuran berkepadatan tinggi yang dikembangkan mengarah pada bangunan vertikal. Tentunya memudahkan secara aksesibilitas dan berorientasi pada pejalan kaki.
“Untuk mewujudkan ini ada aspek yang diperhatikan yakni 3D + T, density, diversity, design dan transit. Density berkaitan dengan kepadatan kawasan atau intensitas pemanfaatan lahan yang tinggi, diversity berkaitan dengan keberagaman pengunaan lahan dan jenis aktivitas kawasan, design berkaitan dengan desain kawasan yang ramah terhadap pejalan kaki, pesepeda dan lainnya,” terangnya.
Elevee Condominium
Seiring dengan dengan itu, pergeseran Jakarta ke kota sekitarnya terjadi secara signifikan. Kondisi ini bisa dilihat dengan banyaknya proyek properti yang dikembangkan secara besar-besaran dengan konsep skala kota. Luas Jakarta dan kota baru di sekitar Jakarta saat ini mencapai 116.561 hektare. Komposisinya, menurut Yayat, luas Jakarta sebesar 66.223 hektare dan kota baru di Bodetabek 50.338 hektare.
Secara perkembangan, proyek properti dengan konsep skala kota biasanya terlahir karena adanya aksesibilitas jalan tol. Salah satu kawasan sekitar Jakarta yang berkembang dengan masif ialah di barat Jakarta, yakni Tangerang, Banten. Kawasan ini diuntungkan dengan adanya akses jalan tol Jakarta-Merak yang mulai beroperasi pada 1985.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Paramount Petals, Kota Mandiri Paling Prospektif di Barat Jakarta
Praktisi Perkotaan dan Properti yang juga Ketua Badan Kejuruan Teknik Kewilayahan dan Perkotaan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Soelaeman Soemawinata menilai kawasan barat dan timur Jakarta berkembang paling pesat di Bodetabek. Namun keduanya memiliki karakteristik berbeda dalam fokus pengembangannya. Jika value of economic ada di timur Jakarta seperti di Cikarang (Bekasi), di barat Jakarta yang menonjol ialah value of life-nya. Menurut pria yang akrab disapa Eman itu, kualitas udara dan air yang cukup baik membuat pengembangan hunian di barat Jakarta berkembang cukup pesat dan diminati pasar.
“Selain itu, saat ini barat Jakarta bukan lagi berperan sebagai kota penyangga, karena regional economic growth bukan lagi hanya ada di Jakarta. Bahkan banyak kampus atau universitas bagus ada di barat Jakarta termasuk di Alam Sutera. Kawasan barat Jakarta kini telah menjadi barometer perkembangan properti di Indonesia karena memiliki infrastruktur kawasan yang bagus,” ujarnya.
Baca Juga: Berkah Infrastruktur Bikin Jakarta Garden City makin Seksi
Bisa jadi, dengan segudang alasan tersebut pengembang properti Alam Sutera, yang merupakan pengembang yang sudah berpengalaman lebih dari 30 tahun, berinisiatif untuk menghadirkan hunian vertikal premium di Alam Sutera, Tangerang. Ini diakui salah satunya oleh Alvin Andronicus, Chief Marketing Officer (CMO) Elevee Condominium, sebuah proyek apartemen di Alam Sutera. Menurutnya, kini masyarakat berduyun-duyun tinggal di barat Jakarta, termasuk di kawasan Alam Sutera karena kawasan itu telah menjelma menjadi new territory yang menjanjikan.
Selain itu, kata dia, faktor berkembangnya properti di barat Jakarta adalah konsep township development yang dikembangkan secara terencana. “Faktor lain yang juga menjadi penentu sebuah pengembangan skala kota seperti Alam Sutera menjadi kawasan yang diminati konsumen dan jadi trend setter adalah faktor manajemen kota atau yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi siapa saja yang ada di dalamnya. Sehingga apa yang disebut value of life itu memang nyata ada, dan dapat dirasakan,” jelas Alvin.
Ditegaskannya, value tercipta dalam waktu yang panjang. Alam Sutera butuh waktu hampir 30 tahun untuk membangun kawasan seluas 800 hektare tersebut. Saat ini produk yang dikembangkan terus berkembang, berawal dari konsep landed house bergaya cluster dan saat ini sedang dikembangkan produk superblok.
“Seperti Elevee Condominium yang tidak hanya berkonsep sebagai hunian vertikal saja tapi dilengkapi juga dengan beragam fasilitas untuk kebutuhan penghuninya termasuk forest park seluas 4 hektar,” papar Alvin.
Baca Juga: Elevee Condominium Pastikan Penerapan Prinsip ESG Tidak Sebatas Slogan
Elevee Condomium berada dalam kawasan yang dinamakan Escala seluas 19 hektare yang juga dilengkapi area komersial. Saat ini menurut Alvin, sudah 2 tower yang dipasarkan dengan kondisi penjualan mencapai 70% dari total 500-an unit. Rencananya, jika pada Agustus mendatang penjualan mencapai 90%, Elevee Condominium akan meluncurkan tower ketiga. Alvin meyakini target itu bisa tercapai dengan melihat profil konsumen yang membeli di Elevee Condominium yang mayoritas sudah mengenal kawasan Alam Sutera.
“Kebanyakan mereka dari radius 5 kilometer dari Alam Sutera dan mereka sudah tahu kelebihan kita. Makanya kita tak banyak bicara soal aksesibilitas karena lokasi kita memiliki aksel tol langsung. Untuk itu kita concern pada produk dengan memberikan konsep hunian vertikal dengan dimensi luas, ukuran terkecilnya mulai dari 87,8 meter persegi dan kita menyebutnya condominium,” kata Alvin.
Baca Juga: Knight Frank Ungkap Pasar Kondominium Masih Bergerak Perlahan
Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) Leads Property Services Indonesia, Hendra Hartono, menegaskan proyek hunian vertikal di kawasan township terlahir karena adanya kebutuhan dan juga karena hunian tapak harganya kian mahal. Seperti di Jakarta, harga rumah tapak sudah sangat mahal lantaran harga tanah per meter perseginya juga sudah mahal, maka opsinya bangunan vertikal.
“Hunian vertikal atau kondominium yang memiliki fasilitas lengkap, nyaman dan apalagi berkonsep mixed use akan lebih diminati. Kondominium yang ada di luar Jakarta seperti Tangerang tren perkembangannya terlahir karena ada faktor kedekatan dengan akses jalan tol. Ini menjadi salah satu pertimbangan utama bagi calon pembeli,” jelas Hendra.
Selain itu, menurutnya potensi hunian vertikal seperti di Alam Sutera juga diminati konsumen yang ada di dalam Alam Sutera sendiri. Trend lainnnya yaitu kondominium yang dekat dengan kampus dan di kawasan mixed-use akan lebih diminati bagi mahasiswa, terutama yang memiliki keluarga berasal dari luar kota.
“Area yang sudah well established atau berbasis township, dan dekat dengan akses transportasi umum menjadi daya tarik pembeli kondominium. Seperti Elevee yang berada di kawasan CBD dan dekat berbagai fasilitas, maka potensi pasarnya besar,” pungkas Hendra.
Baca Juga: Begini Potensi Investasi Properti di IKN
Apapun, hunian vertikal memang menjadi solusi yang efektif untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal di kawasan aglomerasi yang semakin padat. Dengan efisiensi lahan, aksesibilitas yang baik, fasilitas lengkap, dan opsi harga yang lebih terjangkau, hunian vertikal menjadi pilihan tepat untuk menghadapi tantangan perumahan di kota-kota besar.
Tidak hanya itu, hunian pencakar langit ini juga mendukung keberlanjutan perkotaan dengan mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan dan efisiensi energi, sekaligus memberikan solusi jangka panjang bagi pengelolaan ruang di kawasan perkotaan. (ZAL HANIF).